Pojokan

Masih tentang kepulangan saya ke Enzo, warkop kelahiran. Kali ini akan menceritakan tempat duduk yang berada di sudut atau pojokan bilik kedua. Tak ayal dan tidak bisa ditepis memang hanya kursi biasa. Di mana dulunya selalu duduk bersemayam si Faris di situ. Bahkan kawan Rumaka yang lain. Menjadikan kursi-kursi tempat memerah kesedihan, resah, pusing, dan mengeringkan air mata juga bisa saja. Namun tidaklah hanya tentang kegelisahan. Pada pojokan kursi coklat berdinding kotor keringat ini Faris dan kawan lain menjadikannya tempat proses. Tempat mengawali segala awal, juga mungkin mengakhiri segala akhir. Tentu menyesuaikan masalah mereka.

Bagi saya, pojokan ini terlampau berarti untuk tidak saya pentingkan. Bukan hanya sekedar warkop, bisa dikatakan pojokan ini adalah sekolah untuk saya. Menyulut segala amarah, gerakan, ilmu, sabar, pun kebodohan. Dari pojokan ini saya dapat melihat kepusingan kawan-kawan terus bertambah tingkat dan levelnya. Juga nalar mereka yang terus berkembang pesat. Manusia bertambah, buku bacaan menumpuk di meja-meja. Pena berhamburan di samping-samping buku. Notulensi tidak kalah tebal oleh resensi literatur. Web dan blog silih berganti mengirimkan link tulisannya. Ya, benar pembaca. Maferanren dilahirkan di sini, saya melepaskan segalanya hanya untuk berada di pojokan ini. Memusingkan diri. Karena hanya dengan pusing manusia mengada atas dirinya. Sepertinya itulah resiko berpikir bebas. Sudah diperingatkan oleh Georg Hegel, hanya dengan mengambil resiko kebebasan bisa didapatkan.

Saya sangat ingat acap kali muncul seruan untuk menulis. Kerap juga permintaan ketenangan untuk berdiam dan membaca, ajakan untuk membahas sesuatu sering hadir. Di sini pembaca, saya membedah semua hal. Cinta, desa, kota, kampus, dosen, keluarga, Ningsih, dan Ningsih yang lain. Pun sekarang Ann si Faris, Tintin si Fikri, dan pujangga kawan yang lain. Hanya disini saya bisa melihat pecinta, pecinta di mana mencintai saja, tak ada tentang apapun yang lain.

Terpikir oleh saya, apakah dua atau tiga tahun yang akan datang masih bisa duduk berlurus kaki di pojokan ini. Kemana Rumaka akan berlari, siapa yang menanggung segala keperihan di pojokan ini nanti sebagai pengganti. Apakah masih ada yang duduk bersila di trotoar kampus bersama lamunannya tentang lalu-lalang pengguna jalan. Atau bahkan masih adakah cecunguk tengil yang gemar menempel sesuatu pada dinding dan etalase yang ditemuinya. Bahkan, apakah Maferanren akan terus hidup. Tidak ada yang tahu.

Sumirnya, ketika pena ini mati maka matilah Maferanren itu. Naas pembaca, pena akan terus hidup, tinta dan kertas akan terbentuk menjadi buku. Saya harus segera menyendiri dan menyusunnya. Bagaimanapun caranya modal harus saya cari sendiri, untuk hidupnya anak nurani kami. Pojokan ini terlalu pojok, ia butuh rumah riil tempat berdialektika tanpa sungkan ditatap meja tetangga.

Penulis: Maferanren

Satu respons untuk “Pojokan

Tinggalkan komentar